Perda Pengendalian Ojek, Tenaga Kerja dan Pemberian Nama Jalan di Wamena Tinggal Kenangan
WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Anggota DPRD Kabupaten Jayawijaya periode
2009-2014 pada masa akhir jabatannya melalui hak inisiatifnya telah
merancang dan membahas tiga Peraturan Daerah (Perda), yakni Pemberdayaan
Tenaga Kerja Lokal, Pengendalian Ojek, serta Pemberian Nama Jalan dan
Sarana Umum di Kabupaten Jayawijaya.
Tiga Perda itu sendiri
dibikin DPRD dengan tujuan bisa memberikan dampak keberpihakan kepada
Orang Asli Papua (OAP), terutama bagi putra-putri Jayawijaya. Sekaligus
mempertahankan nama-nama dari sejarahwan dan memunculkan nama tempat
bersejarah sebagai warisan turun-temurun.
Tiga Perda itu telah disahkan DPRD periode 2014-2019 dan hanya
tinggal tunggu pelaksanaan oleh Eksekutif. Sayangnya, hingga hari ini
belum dieksekusi.
Contohnya, sangat kurang melibatkan putra-putri Jayawijaya
sebagai tenaga kerja lokal, baik buruh kasar mapun menengah. Sementara,
proyek besar maupun kecil yang sedang berjalan saat ini tenaga kerjanya
didatangkan dari luar Papua (orang non Papua).
Data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kabupaten
Jayawijaya tahun 2010-2015 tentang partisipasi pengurusan kartu kuning
sebanyak 1.453 Pencari Kerja (Pencaker), sementara yang ditempatkan
kerja sebanyak 449 tenaga kerja.
Data ini belum ada pengelompokan antara buruh kasar hingga menengah, termasuk data pengelompokan tenaga kerja lokal.
Terkait Perda Tenaga Kerja Lokal ini, pihak Dinsosnaker pernah
usulkan ke Pemda Jayawijaya setelah adakan koordinasi dengan DPRD
periode 2009-2014 untuk pembangunan Balai Pelatihan Tenaga Kerja Lokal
(BPTKL). Tetapi, sejak diusulkan tahun 2014 lalu belum ada realisasinya.
Termasuk pengendalian ojek. Berdasarkan kondisi ril tahun
1990-an, kota Wamena dikuasai oleh becak yang dalam Peraturan Daerah
(Perda) diperbolehkan putra daerah yang bisa mengayuh becak.
Hal ini sengaja diatur supaya putra daerah ada peluang pendapatan
dengan mengayuh becak. Sebab, jika tidak, banyak muncul pengangguran,
akibatnya hal-hal negatif muncul. Nah, pada waktu itu solusi ini
terjawab dengan kurangnya angka kriminalitas.
Ketika awal tahun 2003 ojek mulai muncul di Wamena, peraturan
mengenai pengendalian ini belum diatur secara baik namun berjalan
lancar. Karena waktu itu ojek hanya ditempatkan di dua titik sentral
dengan tujuan melayani warga yang rutenya tak dilewati kendaraan umum
maupun becak. Termasuk ada keseimbangan pengemudi antara orang non Papua
dan OAP.
Semakin waktu berjalan, penduduk non Papua yang tak terkontrol
masuk ke Wamena meningkat dan hampir rata-rata ber-profesi sebagai
tukang ojek. Mereka bukan hanya tinggal untuk satu dua minggu, tetapi
berbulan-bulan hingga tahun, padahal di daerah Indonesia lain penduduk
baru yang masuk harus dengan identitas jelas jika ingin tinggal lama.
Seperti pengakuan salah satu tukang ojek asal Surabaya, Jawa
Timur, Nurdin. Ia mengaku sudah satu tahun lebih tinggal di Wamena
sebagai tukang ojek.
“Ya, tidak lama lah, cuman satu tahun lebih. Saya hanya ojek saja,” ujarnya sambil mengendarai motor di Wamena.
Akibatnya, secara tak langsung OAP di Wamena yang musti menukangi
ojek tersingkirkan. Mereka tak mendapatkan porsi pekerjaan sebagai
tukang ojek. Dampaknya muncul banyak kasus kriminal. Tak tahu apa
modusnya, tetapi belakangan pencurian motor di Wamena merajalela
bagaikan gadis cantik dilirik banyak pria. Ini fakta dan realita yang
ada.
Hal ini juga sering memunculkan konflik antara tukang becak dan
ojek. Akhir 2014, tukang becak melakukan aksi mogok dan mendatangi
Kantor Bupati Jayawijaya lantaran tukang ojek tak tepati kesepakatan
sebelumnya.
Kesepakatannya, becak diperbolehkan beraktivitas dalam kota dari
pagi hingga sore, sedangkan ojek dipinggiran kota. Jika ke kota, hanya
menurunkan penumpang dan kembali, setelah itu bisa beroperasi di dalam
kota, tetapi harus di malam hari.
Sekarang ojek menguasai pinggiran kota hingga dalam kota,
sementara mayoritas tukang becak adalah OAP yang karena tak ada lapangan
kerja mereka mengayuh becak, lantas mereka tak dapat peluang
penghasilan, terus berapa yang akan mereka hasilkan jika wilayah yang
sudah menjadi daerah operasi mereka dikuasai non Papua yang mayoritas
tukang ojek?
Apalagi mayoritas tukang becak berusia 15-20 tahun yang rata-rata
anak-anak sekolah. Mereka jika tak ada peluang penghasilan, bagaimana
mereka bisa biayai sekolah dan hidup mereka?
Seperti pengakuan Landiper Hiluka (16), siswa SMP Yapis Wamena
asal Silimo Kabupaten Yahukimo. Ia sejak tahun lalu mengayuh becak
hingga akhir tahun 2015, pendapatannya terus menurun.
“Saya cuma pinjam narik dari teman setelah pulang sekolah dan
dulu saya biasa dapat Rp80.000, tetapi sekarang Rp50.000. Uang kadang
saya bayar sekolah dan kadang beli makan saja karena tidak cukup,” kata
Landiper.
Dinas Perhubungan Darat Jayawijaya sendiri belum memiliki data
mengenai jumlah motor ojek dan becak. Hanya ada data mengenai pangkalan
ojek. Dari jumlah ojek yang ada, tercatat 30-an pangkalan.
Sementara, pemberian nama jalan maupun sarana umum di Jayawijaya
belum terealisasi, padahal banyak jalan dan sarana umum yang bisa diberi
nama dengan sejarahwan atau nama tempat bersejarah lainnya di Wamena.
Harus diberi nama seperti perintis Injil, tokoh masyarakat atau
kepala suku bersejarah, karena nama-nama ini dikenal oleh orang Wamena.
Seperti koteka, honai dan noken serta perintis Injil, Elisa Gobay,
Septinus Kafiar atau nama misionaris pembawa Injil, dan lain sebagainya.
Jika tidak bagaimana dengan orang Wamena sendiri untuk
melestarikan semua ini, akhirnya istilah ini tepat disebut, “kalau bukan
sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi”.
“Kalimat ini bukan sekedar istilah, tetapi ini pesan bagi kita
orang Wamena untuk menghayatinya lalu lestarikan perihal soal ini.”
Penggunaan nama tempat dan jalan yang tak dikenal asal usulnya
oleh orang Wamena sendiri, seperti Yos Sudarso, Panjaitan, Safri Darwin,
Sulawesi dan lainnya sebenarnya tak perlu, toh nama Papua, Wamena
Ukumearik Asso, Wenehule Hubi atau Kurulu Mabel tidak digunakan di
daerah sana. Apa dampak gunakan nama-nama ini, apakah orang Wamena
merasa memiliki daerahnya jika menggunakan nama-nama ini, toh tidak juga
kan!
Karena itu, akibatnya, OAP di Wamena merasa tidak memiliki Wamena
sebagai tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan untuk kemudian
bangun daerahnya. Jika ada keberpihakan, otomatis rasa memiliki dan
tanggung jawab itu akan ada.
Semua ini jelas, Perda diatur untuk lestarikan, berpihak dan
kendalikan supaya kota Wamena dan Jayawijaya secara keseluruhan bisa
Damai, Aman, Nyaman dan Indah (DANI) yang selama ini menjadi slogan.
Bukan hanya slogan semata, tetapi mempunyai makna yang luas.
Sayangnya, tiga Perda yang bisa memberi peluang bagi OAP di
Wamena setelah disahkan belum sepenuhnya dijalankan. Bahkan pemerintah
daerah terkesan tak seriusi persoalan ini, karena mungkin menganggap
persoalan ini sederhana.
Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Jayawijaya, Drs. Tinggal
Wusono, sekarang Asisten I Bidang Pemerintahan Jayawijaya awal 2015
mengatakan, tiga Perda itu sudah disahkan DPRD, dan pelaksananya adalah
pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan Darat, namun belum bisa
diterapkan karena harus sosialisasi terlebih dahulu, dan tetap belum ada
penganggaran untuk itu.
Pertengahan Oktober 2015, Tinggal Wusono mengatakan hal serupa.
Menurutnya, untuk pelaksanaan Perda pengendalian ojek Dinas Perhubungan
sudah melakukan langkah-langkah sesuai Perda, hanya saja belum maksimal
karena membutuhkan biaya yang cukup signifikan.
Dikatakan, langkah-langkah itu diantaranya menghindari konflik
antara tukang becak, ojek dan sopir taksi. Selanjutnya, kata dia,
pejabat setingkat penyidik di Satpol PP untuk melakukan penyidikan bagi
yang melanggar masih kurang.
Lagi-lagi, persoalan ini semacam membiarkan berlarut ditelan
masa, sebab sejak 2014 sudah merencanakan melakukan sosialisai, nyatanya
sudah 2015 mau berakhir belum juga dilakukan sosialisasi.
Apakah ini sengaja dibiarkan untuk memunculkan konflik? Ataukah
sengaja dirancang supaya OAP di Wamena lupa akan jati dirinnya sebagai
orang gunung yang tahu akan budaya turun temurun?
Terkait tiadanya keseriusan Pemerintah Daerah ini, Yance Tenouye,
mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Jayawijaya periode 2009-2014
menyatakan, khusus pengendalian ojek untuk sosialisasi sebenarnya sangat
sederhana, tidak membutuhkan biaya besar. Sekarang tinggal tergantung
komitmen pemerintah untuk melaksanakan Perda itu.
Jika pemerintah menyatakan, ketidakadaan anggaran sehingga
prosesnya belum dilakukan, Yance menyoal, justru Perda itu dijalankan
akan ada pemasukan bagi daerah. Tukang ojek diatur, sehingga setiap
bulan mereka bisa setor dana iuran ke Pemda dan itu menjadi income bagi
daerah.
“Lagian, sosialisasi dan semua persiapan tidak butuh dana besar
kan? Saya pikir Rp50 juta hingga Rp100 juta sudah lebih dari cukup.
Kalau untuk pengawasan itu kan domainnya Satpol PP yang anggarannya
sudah diatur, tidak perlu dibiayai lagi. Dari dulu untuk tiga Perda ini
pemerintah bilang tidak ada uang, ini lucu sekali,” Yance menepis
anggapan pemerintah.
Tenouye berharap agar Perda tersebut segera diberlakukan untuk menghindari konflik di kemudian hari.
Silas Fariyon, salah satu abang becak di Wamena mengatakan,
pendapatan sehari tahun 1995-2000-an bisa mencapai Rp400-500 ribu,
ketika tahun 2010 ojek mulai muncul hingga sekarang, pendapatan sehari
cuma Rp100-Rp200 ribu.
Menurut Silas, tukang ojek dan becak ketika demo sudah ambil
kesepakatan waktu dan lokasi angkutan, tetapi tukang ojek keras kepala.
Mereka kuasai wilayah kota hingga daerah perkampungan, sehingga
pendapatan abang becak sangat menurun.
“Tukang ojek banyak ini karena ada larangan orang pendatang ojek
di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo. Jadi, mereka semua naik ke
Wamena, sekarang kita abang becak di Wamena yang tidak dapat apa-apa
dari becak ini,” ujar Silas Fariyon yang sudah mengayuh becak selama 33
tahun (1982-2015) ini.
Mengenai rendahnya pendapatan ini diakui juga Mecky Wenda, salah
satu supir taksi di Wamena. Menurutnya, waktu itu ia melayani taksi
penumpang Sinakma-Gunung Susu. Tetapi karena ojek yang kuasai daerah
itu, maka ia tinggalkan dan sekarang narik taksi jurusan kota
Wamena-Sinakma.
“Begitu juga sama saja. Sudah lama saya narik taksi jurusan
kota-Sinakma, tetapi pendapatan memang rendah sekali dengan waktu
sebelumnya. Tahun 2011-2012 itu satu hari saya bisa dapat Rp500-800
ribu, tetapi sekarang turun sampai Rp200-350 ribu. Ini sudah jauh dari
harapan, karena uang belum kami setor ke majikan dan pendapatan kita
berapa?” ujar Wenda mempertanyakan.
Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Perhubungan Darat Kabupaten
Jayawijaya, Drs. Basni mengatakan, pelaksanaan Perda mengenai
pengendalian ojek belum dijalankan secara maksimal.
Tahun 2015 ada anggaranya sebesar Rp70 juta untuk sosialisasi, hanya saja belum sempat dilaksanakan karena ada kesibukan.
“Kami harap pertengahan tahun 2016 bisa kami adakan sosialisasi,” ujar Basni, Senin (21/12/2015) di Wamena.
ELISA SEKENYAP
Sebarkan Berita ini ke teman-teman Anda!!