Kamis, 21 Januari 2016

Refleksi Batin

Wanita Baptis Kunjungi Orang Sakit di RSUD Wamena

 WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Pengurus Departemen Wanita Gereja Baptis Papua Bidang Kesehatan dan Sosial melakukan kunjungan kasih ke para pasien yang ada di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena, Rabu (18/11/2015).

Ketua Departemen Wanita Baptis Papua, Amelia Jigibalom mengatakan, kunjungan kasih ini pihaknya lakukan karena mengingat orang sakit pastinya membutuhkan pertolongan.

“Terutama di bidang spiritual. Kami inigin bicara tentang kebenaran firman Tuhan, bahwa Yesus satu-satunya jalan dan kebenaran dan hidup. Jadi, kami mau mereka menerima Yesus sebagai Tuhan dan juruslamat pribadi kepada semua yang ada,” kata Amelia kepada wartawan di sela-sela kunjungan kasih itu, sore tadi.

Kegiatan ini menurutnya, dalam rangka hari Doa Wanita Baptis se-dunia dengan tema “Bangkit dan bersinar bagi dunia”.

“Refleksinya atau aplikasinya bagi kami wanita Baptis itu kami terapkan sekarang dengan bersinar bersama dengan orang sakit di rumah sakit ini,” ujarnya.

Dalam kunjungan ini, pihaknya memberikan beberapa bantuan kepada pasien di rumah sakit. “Utama dari bantuan yang hendak kami sampaikan adalah tentang kasih Yesus Kristus,” ujar Amelia.

Ia berharap, ke depan wanita-wanita Baptis yang terlibat dalam kegiatan ini bisa melakukan hal serupa di daerahnya, terutama kepada wanita-wanita Baptis dari kabupaten lain di Tanah Papua.

Sebelumnya, kata Amelia, pihaknya menyelenggarakan Rapat Kerja (Raker) Wanita di gereja Baptis Walani, Wamena. Raker selama tiga hari, berakhir hari ini, Rabu (18/11/2015) yang ditandai dengan melakukan kunjungan ke RSUD Wamena.

Sementara itu, Sonya, Kepala Bidang Keperawatan RSUD Wamena mewakili direktur mengucapkan banyak terima kasih kepada wanita-wanita Baptis yang boleh melakukan kunjungan kasih kepada pasien di RSUD Wamena.

“Kami berharap, kunjungan kasih dari ibu-ibu ini menjadi motivasi tersendiri bagi para pasien di sini.”

“Tetapi lebihnya bagaimana untuk kedepan bisa menajadi rutinitas. Kalau boleh kunjungan kasih ini bisa diadakan sebulan sekali,” tutur Sonya.

 

Perda Pengendalian Ojek, Tenaga Kerja dan Pemberian Nama Jalan di Wamena Tinggal Kenangan

 WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Anggota DPRD Kabupaten Jayawijaya periode 2009-2014 pada masa akhir jabatannya melalui hak inisiatifnya telah merancang dan membahas tiga Peraturan Daerah (Perda), yakni Pemberdayaan Tenaga Kerja Lokal, Pengendalian Ojek, serta Pemberian Nama Jalan dan Sarana Umum di Kabupaten Jayawijaya.

Tiga Perda itu sendiri dibikin DPRD dengan tujuan bisa memberikan dampak keberpihakan kepada Orang Asli Papua (OAP), terutama bagi putra-putri Jayawijaya. Sekaligus mempertahankan nama-nama dari sejarahwan dan memunculkan nama tempat bersejarah sebagai warisan turun-temurun.

Tiga Perda itu telah disahkan DPRD periode 2014-2019 dan hanya tinggal tunggu pelaksanaan oleh Eksekutif. Sayangnya, hingga hari ini belum dieksekusi.

Contohnya, sangat kurang melibatkan putra-putri Jayawijaya sebagai tenaga kerja lokal, baik buruh kasar mapun menengah. Sementara, proyek besar maupun kecil yang sedang berjalan saat ini tenaga kerjanya didatangkan dari luar Papua (orang non Papua).

Data Dinas Sosial dan Tenaga Kerja (Dinsosnaker) Kabupaten Jayawijaya tahun 2010-2015 tentang partisipasi pengurusan kartu kuning sebanyak 1.453 Pencari Kerja (Pencaker), sementara yang ditempatkan kerja sebanyak 449 tenaga kerja.

Data ini belum ada pengelompokan antara buruh kasar hingga menengah, termasuk data pengelompokan tenaga kerja lokal.

Terkait Perda Tenaga Kerja Lokal ini, pihak Dinsosnaker pernah usulkan ke Pemda Jayawijaya setelah adakan koordinasi dengan DPRD periode 2009-2014 untuk pembangunan Balai Pelatihan Tenaga Kerja Lokal (BPTKL). Tetapi, sejak diusulkan tahun 2014 lalu belum ada realisasinya.

Termasuk pengendalian ojek. Berdasarkan kondisi ril tahun 1990-an, kota Wamena dikuasai oleh becak yang dalam Peraturan Daerah (Perda) diperbolehkan putra daerah yang bisa mengayuh becak.

Hal ini sengaja diatur supaya putra daerah ada peluang pendapatan dengan mengayuh becak. Sebab, jika tidak, banyak muncul pengangguran, akibatnya hal-hal negatif muncul. Nah, pada waktu itu solusi ini terjawab dengan kurangnya angka kriminalitas.

Ketika awal tahun 2003 ojek mulai muncul di Wamena, peraturan mengenai pengendalian ini belum diatur secara baik namun berjalan lancar. Karena waktu itu ojek hanya ditempatkan di dua titik sentral dengan tujuan melayani warga yang rutenya tak dilewati kendaraan umum maupun becak. Termasuk ada keseimbangan pengemudi antara orang non Papua dan OAP.

Semakin waktu berjalan, penduduk non Papua yang tak terkontrol masuk ke Wamena meningkat dan hampir rata-rata ber-profesi sebagai tukang ojek. Mereka bukan hanya tinggal untuk satu dua minggu, tetapi berbulan-bulan hingga tahun, padahal di daerah Indonesia lain penduduk baru yang masuk harus dengan identitas jelas jika ingin tinggal lama.

Seperti pengakuan salah satu tukang ojek asal Surabaya, Jawa Timur, Nurdin. Ia mengaku sudah satu tahun lebih tinggal di Wamena sebagai tukang ojek.

“Ya, tidak lama lah, cuman satu tahun lebih. Saya hanya ojek saja,” ujarnya sambil mengendarai motor di Wamena.

Akibatnya, secara tak langsung OAP di Wamena yang musti menukangi ojek tersingkirkan. Mereka tak mendapatkan porsi pekerjaan sebagai tukang ojek. Dampaknya muncul banyak kasus kriminal. Tak tahu apa modusnya, tetapi belakangan pencurian motor di Wamena merajalela bagaikan gadis cantik dilirik banyak pria. Ini fakta dan realita yang ada.

Hal ini juga sering memunculkan konflik antara tukang becak dan ojek. Akhir 2014, tukang becak melakukan aksi mogok dan mendatangi Kantor Bupati Jayawijaya lantaran tukang ojek tak tepati kesepakatan sebelumnya.

Kesepakatannya, becak diperbolehkan beraktivitas dalam kota dari pagi hingga sore, sedangkan ojek dipinggiran kota. Jika ke kota, hanya menurunkan penumpang dan kembali, setelah itu bisa beroperasi di dalam kota, tetapi harus di malam hari.

Sekarang ojek menguasai pinggiran kota hingga dalam kota, sementara mayoritas tukang becak adalah OAP yang karena tak ada lapangan kerja mereka mengayuh becak, lantas mereka tak dapat peluang penghasilan, terus berapa yang akan mereka hasilkan jika wilayah yang sudah menjadi daerah operasi mereka dikuasai non Papua yang mayoritas tukang ojek?

Apalagi mayoritas tukang becak berusia 15-20 tahun yang rata-rata anak-anak sekolah. Mereka jika tak ada peluang penghasilan, bagaimana mereka bisa biayai sekolah dan hidup mereka?

Seperti pengakuan Landiper Hiluka (16), siswa SMP Yapis Wamena asal Silimo Kabupaten Yahukimo. Ia sejak tahun lalu mengayuh becak hingga akhir tahun 2015, pendapatannya terus menurun.

“Saya cuma pinjam narik dari teman setelah pulang sekolah dan dulu saya biasa dapat Rp80.000, tetapi sekarang Rp50.000. Uang kadang saya bayar sekolah dan kadang beli makan saja karena tidak cukup,” kata Landiper.

Dinas Perhubungan Darat Jayawijaya sendiri belum memiliki data mengenai jumlah motor ojek dan becak. Hanya ada data mengenai pangkalan ojek. Dari jumlah ojek yang ada, tercatat 30-an pangkalan.

Sementara, pemberian nama jalan maupun sarana umum di Jayawijaya belum terealisasi, padahal banyak jalan dan sarana umum yang bisa diberi nama dengan sejarahwan atau nama tempat bersejarah lainnya di Wamena.

Harus diberi nama seperti perintis Injil, tokoh masyarakat atau kepala suku bersejarah, karena nama-nama ini dikenal oleh orang Wamena. Seperti koteka, honai dan noken serta perintis Injil, Elisa Gobay, Septinus Kafiar atau nama misionaris pembawa Injil, dan lain sebagainya.

Jika tidak bagaimana dengan orang Wamena sendiri untuk melestarikan semua ini, akhirnya istilah ini tepat disebut, “kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi”.

“Kalimat ini bukan sekedar istilah, tetapi ini pesan bagi kita orang Wamena untuk menghayatinya lalu lestarikan perihal soal ini.”

Penggunaan nama tempat dan jalan yang tak dikenal asal usulnya oleh orang Wamena sendiri, seperti Yos Sudarso, Panjaitan, Safri Darwin, Sulawesi dan lainnya sebenarnya tak perlu, toh nama Papua, Wamena Ukumearik Asso, Wenehule Hubi atau Kurulu Mabel tidak digunakan di daerah sana. Apa dampak gunakan nama-nama ini, apakah orang Wamena merasa memiliki daerahnya jika menggunakan nama-nama ini, toh tidak juga kan!

Karena itu, akibatnya, OAP di Wamena merasa tidak memiliki Wamena sebagai tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan untuk kemudian bangun daerahnya. Jika ada keberpihakan, otomatis rasa memiliki dan tanggung jawab itu akan ada.

Semua ini jelas, Perda diatur untuk lestarikan, berpihak dan kendalikan supaya kota Wamena dan Jayawijaya secara keseluruhan bisa Damai, Aman, Nyaman dan Indah (DANI) yang selama ini menjadi slogan. Bukan hanya slogan semata, tetapi mempunyai makna yang luas.

Sayangnya, tiga Perda yang bisa memberi peluang bagi OAP di Wamena setelah disahkan belum sepenuhnya dijalankan. Bahkan pemerintah daerah terkesan tak seriusi persoalan ini, karena mungkin menganggap persoalan ini sederhana.

Kepala Bagian Hukum dan HAM Setda Jayawijaya, Drs. Tinggal Wusono, sekarang Asisten I Bidang Pemerintahan Jayawijaya awal 2015 mengatakan, tiga Perda itu sudah disahkan DPRD, dan pelaksananya adalah pemerintah dalam hal ini Dinas Perhubungan Darat, namun belum bisa diterapkan karena harus sosialisasi terlebih dahulu, dan tetap belum ada penganggaran untuk itu.

Pertengahan Oktober 2015, Tinggal Wusono mengatakan hal serupa. Menurutnya, untuk pelaksanaan Perda pengendalian ojek Dinas Perhubungan sudah melakukan langkah-langkah sesuai Perda, hanya saja belum maksimal karena membutuhkan biaya yang cukup signifikan.

Dikatakan, langkah-langkah itu diantaranya menghindari konflik antara tukang becak, ojek dan sopir taksi. Selanjutnya, kata dia, pejabat setingkat penyidik di Satpol PP untuk melakukan penyidikan bagi yang melanggar masih kurang.

Lagi-lagi, persoalan ini semacam membiarkan berlarut ditelan masa, sebab sejak 2014 sudah merencanakan melakukan sosialisai, nyatanya sudah 2015 mau berakhir belum juga dilakukan sosialisasi.

Apakah ini sengaja dibiarkan untuk memunculkan konflik? Ataukah sengaja dirancang supaya OAP di Wamena lupa akan jati dirinnya sebagai orang gunung yang tahu akan budaya turun temurun?

Terkait tiadanya keseriusan Pemerintah Daerah ini, Yance Tenouye, mantan Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD Jayawijaya periode 2009-2014 menyatakan, khusus pengendalian ojek untuk sosialisasi sebenarnya sangat sederhana, tidak membutuhkan biaya besar. Sekarang tinggal tergantung komitmen pemerintah untuk melaksanakan Perda itu.

Jika pemerintah menyatakan, ketidakadaan anggaran sehingga prosesnya belum dilakukan, Yance menyoal, justru Perda itu dijalankan akan ada pemasukan bagi daerah. Tukang ojek diatur, sehingga setiap bulan mereka bisa setor dana iuran ke Pemda dan itu menjadi income bagi daerah.

“Lagian, sosialisasi dan semua persiapan tidak butuh dana besar kan? Saya pikir Rp50 juta hingga Rp100 juta sudah lebih dari cukup. Kalau untuk pengawasan itu kan domainnya Satpol PP yang anggarannya sudah diatur, tidak perlu dibiayai lagi. Dari dulu untuk tiga Perda ini pemerintah bilang tidak ada uang, ini lucu sekali,” Yance menepis anggapan pemerintah.

Tenouye berharap agar Perda tersebut segera diberlakukan untuk menghindari konflik di kemudian hari.

Silas Fariyon, salah satu abang becak di Wamena mengatakan, pendapatan sehari tahun 1995-2000-an bisa mencapai Rp400-500 ribu, ketika tahun 2010 ojek mulai muncul hingga sekarang, pendapatan sehari cuma Rp100-Rp200 ribu.

Menurut Silas, tukang ojek dan becak ketika demo sudah ambil kesepakatan waktu dan lokasi angkutan, tetapi tukang ojek keras kepala. Mereka kuasai wilayah kota hingga daerah perkampungan, sehingga pendapatan abang becak sangat menurun.

“Tukang ojek banyak ini karena ada larangan orang pendatang ojek di Dekai, ibu kota Kabupaten Yahukimo. Jadi, mereka semua naik ke Wamena, sekarang kita abang becak di Wamena yang tidak dapat apa-apa dari becak ini,” ujar Silas Fariyon yang sudah mengayuh becak selama 33 tahun (1982-2015) ini.

Mengenai rendahnya pendapatan ini diakui juga Mecky Wenda, salah satu supir taksi di Wamena. Menurutnya, waktu itu ia melayani taksi penumpang Sinakma-Gunung Susu. Tetapi karena ojek yang kuasai daerah itu, maka ia tinggalkan dan sekarang narik taksi jurusan kota Wamena-Sinakma.

“Begitu juga sama saja. Sudah lama saya narik taksi jurusan kota-Sinakma, tetapi pendapatan memang rendah sekali dengan waktu sebelumnya. Tahun 2011-2012 itu satu hari saya bisa dapat Rp500-800 ribu, tetapi sekarang turun sampai Rp200-350 ribu. Ini sudah jauh dari harapan, karena uang belum kami setor ke majikan dan pendapatan kita berapa?” ujar Wenda mempertanyakan.

Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Perhubungan Darat Kabupaten Jayawijaya, Drs. Basni mengatakan, pelaksanaan Perda mengenai pengendalian ojek belum dijalankan secara maksimal.

Tahun 2015 ada anggaranya sebesar Rp70 juta untuk sosialisasi, hanya saja belum sempat dilaksanakan karena ada kesibukan.

“Kami harap pertengahan tahun 2016 bisa kami adakan sosialisasi,” ujar Basni, Senin (21/12/2015) di Wamena.

ELISA SEKENYAP
Sebarkan Berita ini ke teman-teman Anda!!

 

Terminal Penumpang Bandara Wamena Mulai Beroperasi Pekan Ini

WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Terminal kedatangan dan keberangkatan Bandar Udara Kelas 1 Wamena, Kabupaten Jayawijaya, diresmikan Presiden Indonesia, Joko Widodo, 30 Desember 2015. Awalnya ditargetkan beroperasi sehari setelah peresmian, tetapi ternyata molor.
Kepala Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Kelas I Wamena, Rasburhani, menjelaskan, rencana pengoperasian mengalami penundaaan, karena ada beberapa item yang perlu dibenahi, baik sisi ruangan maupun kebutuhan dari masing-masing maskapai penerbangan.

“Kita selesaikan dulu pembersihan, kemudian ada beberapa alat yang perlu dilengkapi oleh masing-masing airline, setelah itu baru kita operasikan terminalnya,” kata Rasburhani saat dihubungi suarapapua.com, Minggu (3/1/2016) kemarin.

Menurutnya, terminal kedatangan dan keberangkatan Bandara Wamena akan dibuka secara resmi pada pekan ini.

“Kita targetkan sebelum tanggal 7 Januari 2016 sudah bisa dioperasikan,” ujarnya.

Ia menjelaskan, untuk selanjutnya, terminal penumpang dan cargo akan berpindah tempat di apron yang baru.

Namun menurut Rasburhani, semua itu tetap membutuhkan proses, karena di apron Alfa belum dilakukan pembongkaran seperti VIP Room Bandara, terminal penumpang yang lama, termasuk Polsek Bandara.

“Seiring berjalan waktu nantinya tidak menutup kemungkinan pesawat cargo juga akan ada yang masuk di apron Bravo jika di apron Alfa penuh, ini akan berjalan hingga pembongkaran bangunan lama selesai dikerjakan,” tuturnya.

Khusus untuk pesawat kecil, kata dia, masih di apron Alfa.

“Kita juga sudah minta maskapai siapkan mobil angkutan penumpang untuk ke terminal kedatangan baru,” imbuh Rasburhani.

Sebelumnya, Bupati Jayawijaya, John Wempi Wetipo mengajak seluruh masyarakat Jayawijaya dan sekitarnya untuk dapat menjaga Bandara Wamena dengan tidak membuang sampah sembarang, termasuk ludah pinang.

Bupati Wetipo juga menegaskan, terhitung sejak terminal penumpang baru ini dioperasikan, tak boleh ada lagi calo tiket seperti dilakukan onum tertentu selama beberapa tahun berlalu.

ELISA SEKENYAP
Sebarkan Berita ini ke teman-teman Anda!!

 

Memacu Pembangunan di tanah Papua

Harga BBM di Wilayah Pegunungan Tengah Papua Belum Mengalami Penurunan
WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Pelaksana Tugas (Plt) Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Jayawijaya, Daniel Mambay mengatakan, harga BBM sudah mengalami penurunan secara nasional, tetapi tarif angkutan umum di Wamena dan sekitarnya masih tetap.

“Pemerintah Kabupaten Jayawijaya dalam hal ini dinas teknis menunggu hasil dari Pemerintah Pusat dan Provinsi Papua untuk menurunkan harga BBM. Dengan adanya penurunan harga BBM, kami akan mengajukan kepada bupati untuk tanda tangan agar menurunkan harga BBM di Wamena,” jelasnya usai mengikuti kegiatan Rapat Pembukaan Sidang Paripurna Satu DPRD Kabupaten Jayawijaya, Selasa (12/1/2016) di Wamena.

Mambay menuturkan, sambil menunggu keputusan terbaru dari provinsi, untuk sementara ini pihaknya masih menggunakan tarif lama.

Terkait itu, kata dia, para sopir taksi akan diundang untuk mengikuti sosialisasi tentang hal tersebut.

“Termasuk kepada tukang ojek dan abang-abang becak. Sosialisasi itu akan diadakan pada bulan Maret, kemudian kami akan masuk di angkutan umum,” kata Mambay.

Selain itu, ia juga mengaku sudah memiliki data mengenai jumlah tukang ojek dan becak yang belakangan ini terus bertambah.

“Kami memiliki data khusus, tetapi sekarang abang-abang ojek semakin banyak, sehingga harus data ulang. Nanti kita akan kerja sama dengan Polres Jayawijaya dalam hal ini Kasat Lantas,” pungkasnya.

DIUS KOGOYA
Sebarkan Berita ini ke teman-teman Anda!!


Memacu Pembangunan di tanah Papua

Sekda Jayawijaya Minta Gedung Otonom 7 Lantai Ditempati

WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Pemerintah Daerah Kabupaten Jayawijaya, Senin (18/1/2016) menginstruksikan tiga belas Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk mulai menggunakan gedung Wenehule Hubi atau gedung otonom 7 lantai yang diresmiikan Presiden RI, Joko Widodo belum lama ini.
“Mulai di awal tahun ini, yang berkaitan dengan gedung baru 7 lantai pemerintah sudah instruksikan 13 SKPD harus masuk,” kata Walilo Senin setelah upacara tujuh belasan dalam rangka Kedisiplinan dan Kinerja Pegawai Negeri.

“Sebenarnya hari Jumat dan Sabtu sudah isi, tetapi hari ini saya perintahkan, dalam minggu ini seluruhnya harus isi,” tegas Walilo.

Sekda berharap, minggu depan sudah mulai aktivitas di kantor yang baru. Tujuannya, kata dia, agar ada koordinasi kerja yang baik.

Sekda Walilo menambahkan, gedung baru ini digunakan bagi SKPD yang selama ini tidak punya kantor. Antara lain dua dinas dan badan lainnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Jayawijaya, Lamber Hesegem mengatakan, satu atau dua hari kedepan akan lengkapi dengan barang-barang atau aset-aset yang ditinggalkan di kantor sebelumnya, karena di sana akan ditempati SKPD lain.

“Dalam minggu ini kita harus berkantor di sini, karena itu memang aturan yang sudah tegaskan oleh Bapak Sekda,” ujarnya.

“Kami juga sangat senang dengan gedung baru ini, teman-teman saja tidak ada yang muka murung to,” kata Hesegem.

Ia membenarkan, selain pihaknya, di gedung 7 lantai yang dibangun dengan dana APBD itu akan diisi juga oleh SKPD dan badan lainnya.


 

Hak-Hak Tidak Dibayarkan, Mama-Mama Cleaning Service Datangi DPRD Jayawijaya

WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Mama-mama pekerja kebersihan atau cleaning service di sekitar kota Wamena, Selasa (19/1/2016) mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Jayawijaya guna menanyakan hak-hak mereka di tahun 2016, yang berdasarkan informasi tidak disediakan dana bagi mereka.
“Kami datang ke sini mau tanya ke DPRD karena ibu distrik kota bilang kalian tidak usah kerja lagi karena dana kalian untuk tahun 2016 sudah tidak ada lagi.”

“Jadi, kami datang mau tanya itu,” kata Lince Hisage, salah satu mama mewakili rekan-rekan cleaning service kepada suarapapua.com di Kantor DPRD Jayawijaya, Selasa (19/1/2016).

Mama Hisage juga mengatakan, selain cek dana untuk tahun 2016, pihaknya juga mengecek terkait daftar nama yang berdasarkan informasi telah ditiadakan di DPRD Jayawijaya.

“Kita harapkan supaya kita punya nama-nama itu harus ada dan hak-hak kami juga harus ada, nanti kita akan kembali lanjut kerja lagi,” tutur Mama Hisage.

Sementara, untuk mengetahui persoalan tersebut, Anggota Komisi B DPRD Jayawijaya langsung ke kantor Distrik Wamena Kota, namun pihaknya tidak menemui Kepala Distrik karena tidak berada di tempat.

Usai pengecekan itu, Ketua Komisi B DPRD Jayawijaya, Christian Kendek Padang mengungkapkan, pihaknya tidak menemui Kepala Distrik, tetapi akan tetap melakukan pertemuan terkait kedatangan mama-mama cleaning service di kantor DPRD Jayawjaya.

“Karena setahu kami, kami sudah anggarkan dana untuk mama-mama ini, jadi kami akan cross check lagi ke ibu kepala distrik untuk kejelasannya,” kata Christian.

Ia menegaskan, dalam waktu dekat akan diusahakan penyelesaian persoalan ini, karena jika tidak mama-mama ini akan kehilangan pekerjaan dan sampah di kota Wamena akan menumpuk dan dampaknya merusak keindahan kota.

“Kami akan cari jalan dalam waktu dekat, untuk menemukan titik temunya dimana, sehingga kepada mama-mama untuk bersabar dan tetap bekerja di kota Wamena ini, supaya kota tetap terlihat bersih,” pungkasnya.

Editor: Oktovianus Pogau

ELISA SEKENYAP
Sebarkan Berita ini ke teman-teman Anda!!

 

Masyarakat Adat Papua

WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Kelompok Usaha Tani (KUT) Wania, Distrik Hubikiak, Jayawijaya, Papua, memamerkan hasil usahanya di Wamena, Jumat (15/1/2016).
Jenis usaha yang dikembangkan KUT Wania yakni ternak babi, ayam, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan jual beli daging potong (babi).

“Hari ini kami tampilkan hasil perdana. Hasil usaha kelompok kami berupa ternak babi, ayam, jual beli daging Wam (babi), dan usaha BBM,” kata ketua KUT Wania, Ketias Wenda pada pembukaan acara pameran, siang tadi di Wamena.

Wenda menjelaskan, KUT Wania dimulai sejak tahun 2010 di Kampung Hetuma (Pasar Baru), Distrik Hubikiak.

“Dari kelompok Wania, usaha ternak babi berjumlah 120 ekor,” imbuhnya.

“Anggota kelompok kami ada 20 orang. Kami selama ini tanpa dorongan dari siapapun, hanya kelompok tani ini sendiri, jadi bersifat swadaya kelompok,” kata Wenda.

Kelompok usaha tani yang dipimpin Ketias Wenda memiliki 10 sub kelompok.

“Karyawan khusus ada 5 orang dan mereka dikasih gaji perbulan satu juta rupiah,” katanya.

Tahun lalu kelompok usaha ini menyampaikan proposal ke pemerintah daerah. “Kami pernah masukan surat permohonan kepada Pemerintah Kabupaten Jayawijaya pada tahun 2015. Tetapi, dijanji tahun 2016 dan saat ini kami menunggu jawabannya,” tutur Wenda.

Ia menambahkan, hasil usahanya yang dipamerkan hari ini agar ada penilaian tersendiri. “Ya, inilah saatnya kita harus pamerkan hasil pertama sebelum pemerintah melihat dan menilai.”

Dengan pameran hasil usaha tersebut, pihaknya berharap agar pemerintah daerah dapat mengangkat dan mendorong potensi-potensi petani yang ada di wilayah Kabupaten Jayawijaya.

Diakuinya, usaha yang dirintis sejak tahun 2010 itu cukup prospek. “Setiap hari hasil usaha kami biasa jual di Pasar Jibama,” kata Ketias Wenda.

Sekretaris KUT Wania, Yelinus Kogoya menegaskan, selepas pameran ini, usahanya tetap akan dilanjutkan.

Menurut Kogoya, tahun ini mereka akan kembangkan usaha-usahanya lebih baik lagi.

“Satu bagian usaha yang menjadi target utama kami pada tahun ini adalah usaha BBM. Selama ini belum ada tempat jual, biasanya di pinggir jalan saja. Jadi, kami mau dalam ruko,” tutur Kogoya.

Wenda maupun Kogoya berharap, pemerintah daerah melirik KUT Wania agar usahanya berkembang baik. Juga tentunya dengan hasil usahanya dapat menjamin nasib para karyawan.

Editor: Mary

Memacu Pembangunan di tanah Papua

PANIAI, SUARAPAPUA.com --- Pasar Enarotali, Kabupaten Paniai, Papua, yang terletak di Iyaipugi, hingga kini masih terlihat seperti lahan luas setelah dilahap si jago merah beberapa bulan lalu.
Akibat belum adanya upaya dari pemerintah daerah untuk membangun kembali pasar yang terbakar itu, mama-mama Paniai memilih sepanjang pinggiran jalan raya sebagai tempat berjualan.

“Mau jualan dimana lagi, pasar sudah terbakar. Ini tempat yang pas untuk kami jualan,” kata Ibu Naomi Mote, kepada suarapapua.com, Senin pagi (18/1/2016).

Menurut Naomi, sejak berjualan di pinggir jalan, dia dan teman-temannya merasa tidak nyaman.

“Selama kami jualan di sini, kami merasa tidak nyaman sekali. Hujan dan panas hari-hari kami terima dengan bersih. Ya itulah resiko, mau buat apa lagi,” ucap ibu enam anak ini.

Sejak pasar terbakar pada 30 September 2015, kata dia, pemerintah daerah masih belum memberi sinyal kapan pasar akan dibangun kembali.

“Pasar itu terbakar empat bulan lalu. Tetapi selama ini pemerintah tidak pernah kasih tau kepada kami kapan pasar itu akan dibangun kembali. Jadi, ya kita tunggu saja,” ucapnya lagi.

Di kesempatan yang sama, mama Paniai lainnya, Ibu Mia Tekege, menyesali sikap pemerintah daerah yang lebih mengurus kepentingan pribadi ketimbang kepentingan umum.

“Bangun kembali pasar itu kan buat kepentingan umum seluruh rakyat Paniai, kenapa pemerintah daerah tidak buat. Makanya jangan urus terus kepentingan pribadi supaya tidak lupa dengan kepentingan umum,” ujarnya dengan nada kesal.

Terpisah, tokoh intelektual asal Paniai, Semuel Yogi, menduga jika pemerintah terus menutup diri dan mata terhadap kondisi mama-mama Paniai, ada upaya terselubung dari pemerintah di lokasi tersebut.

“Stasus kepemilikan lokasi jelas, yang punya adalah pemerintah sendiri. Sekarang susahnya apa dan masalahnya apa kalau begini terus kondisinya, saya duga, jangan-jangan mau dijadikan milik pribadi,” ungkap Sem.

Menurut Sem, segala yang dimiliki oleh pemerintah baik dalam bentuk dan jenis apapun adalah seutuhnya milik rakyat dan selanjutnya harus diperuntukkan demi kebutuhan rakyat.

“Pemerintah ada dari rakyat, oleh dan untuk rakyat pula. Jadi, lokasi pasar itu kalau mau dilihat dari bunyi slogan ini, pemiliknya adalah seluruh rakyat Paniai. Oleh karena itu, tidak boleh pemerintah punya iming-iming tertentu di lokasi itu.”

“Yang ada sekarang, mau tidak mau, suka tidak suka, pemerintah harus bangun segera pasar seperti sedia kala. Kasihan mama-mama, hari-hari berjualan beralaskan tanah dan beratap langit,” beber Sem.

Editor: Oktovianus Pogau

5 Wilayah Adat di Papua Akan Dibangun Rumah Sakit Regional

WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Jayawijaya, Yohanes Walilo mengungkapkan, terkait keputusan Pemerintah Pusat untuk membangun rumah sakit regional di 5 wilayah adat di Papua, yaitu Mamta, Anim Ha, Domberai dan Bomberai, Lapago dan Meepago serta Saireri dianggap sangat baik.

 

“Ya benar, rumah sakit itu salah satunya akan dibangun di Kabupaten Jayawiaya untuk wilayah pegunungan. Tetapi rumah sakit Wamena yang sudah ada tidak akan pindah, tetapi akan kita perbaiki untuk peningkatan status,” kata Walilo kepada suarapapua.com di Wamena, Senin (18/1/2016).

Rumah sakit regional yang dimaksud, kata Sekda, akan dibangun di lokasi tersendiri dengan pembiayaan dari provinsi maupun pusat.

Karena itu, kriteria yang harus dipenuhi adalah peningkatan status RSUD Wamena serta melengkapi berkas-berkasnya.

Untuk saat ini, kata Walilo, pihaknya sedang membangun koordinasi dengan pemerintah provinsi, supaya apa-apa yang perlu disiapkan dalam waktu dekat agar segera disiapkan, sehingga pembangunan rumah sakit tersebut bisa dimulai pada tahun 2016 atau 2017 mendatang.

“Lokasinya akan dibangun di Honailama yang luas tanahnya 10 hektar lebih dan untuk sementara kita ada lakukan negosiasi dengan pihak pemilik tanah. Setelah itu pembelian, lalu dilakukan pembangunan,” ucapnya.

Sekda Jayawijaya juga mengatakan, rumah sakit lama sebagai rumah sakit tingkat kabupaten akan tetap ada di lokasi awal dan akan dinaikan status untuk terus melayani, sedangkan rumah sakit yang akan dibangun adalah rumah sakit tingkat regional untuk sejumlah kabupaten di kawasan pegunungan tengah.

Selain itu, Walilo merinci mengenai tahap pembanguan rumah sakit tersebut. Pertama dengan anggaran yang disiapkan akan dilakukan pembayaran kepada pihak hak atas tanah, tahap kedua mulai bangun gedung rumah sakit.

“Karena ini anggaran pusat, jadi untuk kepastian jalan sekaligus atau tidak kami belum bisa pastikan,” ujar Sekda.

Editor: Oktovianus Pogau


Kesehatan Yang Memburuk

WAMENA, SUARAPAPUA.com --- Salah satu keluarga korban jiwa anak di Mbua, Kabupaten Nduga, Papua, Yulius Nerigi mengatakan, kasus kematian anak di Mbua perlu dilihat sebab akibat terjadinya kematian anak.
“Kasus Mbua harus ditarik dari variabel sebab akibat. Akibatnya apa, sebabnya apa? Selama ini saya ikuti di media arahnya itu lari tanpa menggali persoalan sesungguhnya di belakang,” tegas Nerigi kepada suarapapua.com di Wamena belum lama ini.

Menurutnya, ini kasus kematian puluhan nyawa manusia yang tidak berdosa, maka kasus ini perlu diseriusi dengan baik.

“Jadi, saya lihat dari sisi HAM karena saya juga pernah kerja di LSM. Kematian anak ini merupakan pelanggaran HAM berat, dan bupati Nduga harus bertanggungjawab. Ini masalah kesehatan, karena kasus ini ada pembiaran dan hak dasar yang tidak diperhatikan,” tutur Nerigi.

Ia juga mempertanyakan, sejauhmana kinerja Dinas Kesehatan Nduga, Dinas Sosial dan DPRD Nduga, sampai kasus ini terlantar. Dimana tugas mereka ini, apakah memang disengaja membiarkan generasi-generasi Papua di Nduga mati begitu saja?.

“Proses pembiaran ini saya mau tanya, dimana dana Otsus yang 15 persen itu? Saya juga melihat Nduga ini tidak dibangun dengan hati. Saya tahu dana-dana itu karena saya pernah di perencanaan program dinas.”

Dengan demikian, ia menyatakan, dana Otsus besar bukan untuk membangun bangunan, tetapi lebih fokus bangun manusianya dulu.

“Tetapi sayangnya, pada jaman Otsus ini orangnya mati banyak di Mbua. Jadi, saya mau bilang sekarang, penemuan penyakit Pertusis dengan komplikasi Pneumonia itu hanyalah pengalihan isu. Alasan bilang tidak pernah lakukan imunisasi itu omong kosong, sebab orang dulu tidak imunisasi tidak apa-apa kok,” ucapnya.

Nerigi menduga ada penyelewengan dana Otsus tahun 2014 untuk Dinas Kesehatan Kabupaten Nduga yang sebesar Rp3 miliar dari Rp15 miliar.

”Ketika saya tanya bupati tolak ke Kepala Dinas Kesehatan, akhirnya saya pertemukan Kepala Dinas Kesehatan dan bendaharanya bertemu Keuangan dan mereka tolak ke bupati. Jadi, saya menilai proses pembiarannya terjadi disitu,” ungkapnya.

Oleh sebab itu, sekali lagi tegas Yulius Nerigi, Bupati Kabupaten Nduga harus bertanggungjawab atas kasus ini.

“Saya juga heran ketika kasus ini terjadi tidak pernah bupati panggil untuk adakan rapat, termasuk dinas juga. Jadi, jangan-jangan kasus Mbua bisa dijadikan proyek, sebab dana yang dikirim provinsi Rp1 miliar sampai hari ini tidak jelas penggunaannya.”

Sementara itu, Theo Hesegem, Ketua Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan HAM Pegunungan Tengah menuturkan, dari kasus kematian ini bisa muncul banyak aspek. Terutama dari aspek ketidakadilan pemerintah setempat, ketidakjujuran dan transparansi Pemda ke dinas-dinas, sehingga menjadi masalah besar.

“Saya harap Pemerintah Nduga melihat persoalan ini dengan serius. Jangan main-main, karena dari sisi hukum, keluarga korban punya hak ajukan ke proses hukum untuk pertanggungjawaban dana Otsus bagi kesehatan yang nilainnya sekian itu jika tidak dipergunakan dengan baik,” ujar Hesegem.

Terkait dana Otsus, Pendeta Judas Meage, Ketua Klasis GKI Balim Yalimo menyatakan, bukan karena tidak ada uang lalu tidak melayani, tetapi masyarakat waktu lalu tanpa uang tetap bisa hidup, walaupun di kampung, jadi uang bukan segalanya.

“Yang jadi soal, mahasiswa ketika melakukan investigas di wilayah Mbua dihalang, jadi kita bisa curiga, mereka yang halang-halangi ini mungkin sudah difasilitasi. Pemerintah sendiri tidak bisa buka mulut, laporan resmi hingga hari ini tidak ada. Jadi, jangan ada tekanan, ini korban nyawa manusia. Mari kita kerja lebih ekstra lagi untuk ungkap persoalan yang tersembunyi ini,” ajak Pendeta Meage.

Editor: Oktovianus Pogau

Persipura Jayapura


Rencana Rekrut Pemain, Manajemen Persipura Dinilai Tak Efektif

 

 JAYAPURA, SUARAPAPUA.com --- Rencana manajemen Persipura Jayapura merekrut beberapa wajah baru untuk mengikuti turnamen Piala Gubernur Kalimantan Timur 2016, dinilai tak efektif karena di Tanah Papua terdapat banyak pemain.