Bangga Menjadi Papua?
PAPUA
memang unik. Memiliki kekayaan alam yang “terkaya raya” di dunia,
tetapi rakyat Papua sendiri tidak menikmatinya. Laksamana Madya TNI
(Purn) Freddy Numberi mengatakan, tidak hanya kekayaan alam, tetapi
budaya dan sejarah perjalanan hidup orang Papua sangat unik dengan nilai
historis bermutu tinggi di dunia, (2014:1).
Tetapi,
patut diungkapkan disini bahwa, ketika Pak Freddy sedang bangga
sekaligus prihatin, ada orang Papua lain malas tahu dengan segala
keberadaan itu. Parahnya, ada orang Papua yang tidak tahu bahwa dia
bagian dari pada komunitas orang Papua.Contoh kecil coba saja anda perhatikan, baru tiba di Jakarta, sudah Lu Que lupa kitorang kamorang, lalu sibuk-sibuk minta pemekaran. Setelah dimekarkan, kalah politik pergi lagi minta kabupaten baru di Jakarta. Sementara kelompok ini tidak tahu dampak-dampak yang akan terjadi setelah kampungnya dimekarkan. Dalam benaknya: “yang penting sa dapat kembali eselon II, III dan IV yang telah direbut kelompok pemenang Pilkada”.
Lalu apa yang terjadi kemudian di daerah pemekaran baru itu? Dalam penerimaan PNS, tidak ada putra asli yang lolos. Kekecewaannya muncul kemudian di media massa. Dalam penempatan jabatan, mulai cari-cari orang. Lalu, yang memenuhi syarat kepangkatan, cuma guru-guru SD di kampung. Kemudian, semua guru-guru berlomba menjadi pejabat, tinggalkan pendidikan. Sekolah-sekolah kosong. Nilai murid merosot hingga tingkat yang sungguh sangat memprihatinkan. Ke kota dengan ijasah bayaran.
Sejumlah Kepala Sekolah SLTA di kota-kota mengeluh, siswa-siswi tamatan pedalaman, ada yang belum bisa tulis menulis. Syukur, dia masih mau sekolah. Jika tidak, pasti jadi member terminal.
Mantri dan suster biarawati berlomba berebut eselon IV-III di dinas kesehatan, ubah nasib katanya. Soalnya, menjadi pegawai puskesmas, dana postu dipakai Kepala Puskesmas sendiri. Nasibnya sama dengan guru-guru, dimana kepala sekolahnya, kebanyakan mangkir hitung togel di kota. Di Abouyaga, awal September 2014, 70-an anak dibawah 10 tahun tewas diserang serampak tanpa perawatan medis. Ketika itu, Kapus ada bikin kebun di SP-4 Topo.
Pegawai yang sudah lama kerja di Distrik, justru nasibnya tidak berubah. Malah ada yang di non-jobkan. Ini pengalaman di Dogiyai. Sejumlah Sekwilcam, Kaur Pemerintahan, Ketertiban dan Staf, dinonjobkan gara-gara politik. Mereka mengadu ke Bupati, tapi jawabannya, tunggu, nanti, besok, entah sampai kapan tidak tahu.
Ada pembangunan perumahan, masyarakat asli tetap hidup di honai-honai, gubuk-gubuk, dusun-dusun. Belum lagi pembagian proyek, pengusaha pribumi tidak pernah dipersiapkan. Ada tetapi “benderahnya” hanya untuk dipinjam.
Pada saat festifal, penarinya dipinjam dari Jayapura. Iven pameran pembangunan, expo, cukup dipersiapkan di kota, lalu pengunjung bangga, wah kabupaten baru ini sudah maju. Hebat. Mantap, lanjutkan pak.
Kabupaten-kabupaten baru hanya didirikan untuk pasang jabatan di pedalaman, PNSnya tinggal di kota, bahkan ada PNS yang kerja di dua tempat. Para bupati ada yang punya rumah di Jawa. Di pedalaman hanya bangunan kantor bupati, menjadi tontonan masyarakat dusun yang sering mondar mandir lipat tangan kebelakang pantau-pantau kantor-kantor itu tanpa tujuan.
Lalu, dengan segala keadaan ini kita harus katakan, bangga menjadi Papua? Ada kelompok disana mengatakan, Ya kita harus bangga karena ini hasil dari perjuangan. Padahal dia mau katakan, Bapa jangan bangga, karena bapa sudah BUNUH DIRI dengan anak panahmu sendiri.
He he he, bagus. Nilai 100 pace-mace. Ini ruang omong kosong jadi, kitong lanjutkan pembicaraan………..
Ada lagi. Ketika KNPB demo di berbagai daerah agar Indonesia jangan pele-pele wartawan asing liput Papua, kelompok lain disana mabuk-mabuk, karoke, bajalan dengan mobil gelap, taputar di ibu kota. Tidak sadar bahwa ia sedang badansa ria dengan HIV-AIDS. Mungkin karena itu, pantaslah kalau I Ngurah Suryawan mau katakan dalam bukunya berjudul Jiwa yang Patah; “su patah – patah-patah lagi”.
Lalu apakah kita bangga dengan keadaan ini? Pace disana dia menjawab: “ya bangga dong, epen ka?” Oke baik, lanjut pak.
TEMPO dulu, sebelum orang Papua sadar bahwa dirinya mendiami diatas tanah Papua yang kaya raya (taman Firdaus), Inggris, Jerman dan Belanda sudah mengkavling-kavling pulau Isla Del Oro ini lewat sebuah perjanjian yang namanya Perjanjian London (tanggal 17 Maret 1824). Wilayah PNG, Australia dan sejumlah kepulauan di timur Pasifik, dikuasai Inggris dan Jerman. Sementara tanah Papua dikuasai Belanda. (Numberi, 2014:114-115).
Masalahnya disini adalah, Belanda malas tau dengan Papua. Numberi menyebut, Papua dianak tirikan. Sementara PNG, Australia, Salomon dan Vanuatu dibangun serius: mulai dari manusianya, infrastruktur hingga terakhir menjadi negara persemakmuran. Walaupun harus kita akui, orang Papua masih unggul di berbagai bidang ketimbang saudara-saudaranya, namun inilah kenyataan.
Ada “something wrong” bagi Papua. Belanda temukan biji emas di tembagapura lewat geolognya, Jean Jaques Dozy. Tetapi Belanda malas tahu dengan temuan itu, lalu Dozy jual ke bos Freeport Mcmoran, Wilson Forbes.
Mengapa Belanda malas tahu dengan Papua?
Apakah karena kita memiliki jiwa yang patah? Tidak bersatu? Memilih arah arus angin sendiri-sendiri? Angine-angine?
Ketika yang lain keringat, yang lain tinggal makan? Ketika disini bilang saya, disana juga bilang saya?
Tidak saling mendukung, suka baku gunting? Iri hati tinggi? Sosial tinggi? Suka dendam antar sesama orang Papua sendiri? Paa naimaidaa – doda kounaa moku kou…… tenaimipeko – habatan tekanita … Tidak mau orang lain melebihi, Yudas Iskariot: keluar di kedutaan ini, masuk di kedutaan sana? Kejar kejar rupiah, nanti menghadap Tuhan dengan barang pelican itu.
Wow, sa malu. Kedepan sa tidak akan tulis soal-soal ini lagi. Cukup. Tetapi nanti siapa yang taro cermin besar didepan kantor Gubernur Dok II Jayapura? Apakah kita hanya harapkan biji keringat pemain-pemain Persipura? Atau kepada guru-guru tua di kampung-kampung?
Wahai kawan. Sudah saatnya berhenti meminta Pemekaran Kabupaten atau Provinsi di tanah Papua. Stop sudah. Sudah saatnya berubah dan sadar diri. Mari mulai memanfaatkan segala potensi yang kita miliki untuk sesuatu yang berarti bagi masa depan negeri ini. Situasi hidup yang sedang terjadi sekarang ini, sama sekali tidak menguntungkan masa depan Ras Astro Melanesoid khususnya. Sungguh tidak menguntungkan.
Para bupati-bupati yang terpilih, sudah saatnya akomodir semua kepentingan. Tinggalkan dendaman pada saat Pilkada Bupati. Para bupati juga sudah saatnya siapkan tenaga-tenaga insinyur yang pada saatnya bisa buka tambang sendiri. Stop kasih kenyang luar negeri. Dengan mengelola kekayaan alam sendiri, kita bisa bikin stadion sepakbola berskala internasional. Stop kerut Jakarta. Biar suatu saat bisa muncul Boas kecil, Alfred Refasi kecil, Elly Rumaropen kecil, atau Yosep Iyai kecil bermain di stadion kebanggaan mereka.
Siapa tidak bangga, jikalau Manokwari miliki stadion berkelas Internasional dengan nama Stadion sepakbola internasional Adolf Kabo, atau Stadion Sepakbola Yosep Iyai di Nabire. Atau kita hanya bangga dengan stadion Mandala Jayapura saja? Syukur stadion ini didukung kondisi alam yang indah dan memadai.
Mari kita bangga menjadi Papua diatas hasil keringat kita sendiri diatas segala kekurangan kita. Perlu diingat, orang Papua memiliki mayoritas ras istimewa yang menyebar sampai ujung jauh, yaitu ras Austro Melanesoid. Ras ini menyebar sampai ke Australia, Maluku, Sulawesi, Jawa, Sumatra, Malaysia hingga India (Rustam Tamburaka et.al, 2004:5).
Tanah Papua juga adalah taman Firdaus yang dipagari dengan kerub yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar. Wilayah Segitiga Bermuda antara Sulawesi, Kalimantan dan Jawa adalah tempatnya. Binatang yang ada di Jawa, Kalimantan dan Sumatra di jaga ketat di wilayah ini. Disinilah pagar terakhir dari taman Firdaus Papua.
Namun Allah juga tidak pilih kasih. Sebelumnya Allah juga “membuat” 5 taman Firdaus dengan segala kerub dan pagarnya masing-masing. Namun, semua taman itu bukan menjadi pilihan karena tidak berbentuk burung Cenderawasih yang indah.
Taman Firdaus pertama, Allah ciptakan di Afrika Utara. Dari taman Firdaus ini, kemudian, Allah turunkan Ras Kushoid. Ras ini memang ras manusia tertua dibumi.
Firdaus kedua turunkan ras Negroid di Afrika Selatan. Taman Firdaus ketiga, Allah bentuk menjadi semenanjung Yunani Raya. Wilayah ini mirip dengan tanah Papua. Jantungnya ada di Athena, Kepala Burung ada di wilayah Akhaya, Kengkrea, dan Korintus. Sementara Berea, Teselonika, Amfipolis, Filipi, Neapolis persis sama seperti di wilayah Kaimana, Timika, Asmat, Digul dan Merauke. Daratan Makedonia mirip PNG.
Wilayah yang lebih mirip dengan Kei, Timor-Timor, Sumba adalah seperti Pulau Asos, Mitilene, Efesus, Miletus, Knidus. Sedangkan wilayah yang hampir mirip dengan kepulauan Ambon, yaitu KRETA dan KAUDA.
Di wilayah inilah, Athena, kami yakin ras Kaukasoid ditempatkan, untuk taman Firdaus orang-orang berkulit putih.
Namun setelah TUHAN ALLAH perhatikan dengan seksama, taman ini tidak berbentuk burung Cenderawasih yang indah. Semenanjung ini, kepala burungnya condong ke selatan. Ekornya ada di bagian utara. Maka kemudian, Tuhan Allah membuat sebuah taman di Timur, tepatnya di Bali. Disinilah, Tuhan turunkan Ras Mongoloid yang pada jaman quartair, manusianya menyebar sampai di Mongolia. Matanya semakin menyipit dan kulit semakin jauh semakin memutih, karena kena dingin, salju.
Kepada ras ini, Tuhan turunkan khasanah budaya yang berbeda, seperti di Yunani. Taman Firdaus Bali dijaga oleh kerub yang bernyala-nyala yang oleh masyarakat setempat menyebut Dewa-Dewi. Ada Sembilan dewa yang menjaga pulau Dewata ini.
Namun, dimata Tuhan, pulau ini tidak berbulu seindah burung Cenderawasih, maka, pada akhirnya, dibuatlah Tanah Papua. Mulut, mata dan otak Papua ada di wilayah Sorong, Manokwari, Fakfak dan sekitarnya. Leher burung di Nabire. Jantungnya ada 3 danau yang indah, yaitu Danau Paniai, Tigi dan Tage. Perut burung yaitu, Freeport yang eksplorasi emas di Timika. Asmat dan Merauke berada di kaki. Punggung di Jayapura, Sarmi, dan sekitarnya. Dada samping, wilayah sepanjang Pegunungan Tengah. Sayap kanan: pulau Biak, saya kiri: Yapen Waropen. Ekor burung yang indah: PNG, Salomon, Vanuatu yang telah bebas merdeka.
Dengan keberadaan ini, apakah orang Papua tidak bangga? Tentu kita harus bangga. Karena orang Papua, ras Astro Melanesoid, diciptakan (ditempatkan) pada hari khusus, yaitu hari keenam. Allah memberikan harkat dan martabat yang lebih tinggi kepada orang Papua dengan taman Firdaus yang indah dan kaya raya. Sekali lagi, apakah kita tidak bangga dengan kekhususan yang diberikan Tuhan kepada kami orang Papua?
Atau kita harus bangga dengan Otonomi Khusus yang diberikan untuk hambur-hambur rupiah sementara harkat dan martabat orang Papua semakin hari hancur berantakan?
Jawabannya cukup sederhana dengan memilih tiga opsi berikut: Memilih “Otsus” Taman Firdaus dari Tuhan? Atau memilih Otonomi Khusus UU 21 2001? Atau menanti Otonomi Khusus Plus-Plus??